About Us

Selasa, 24 Juni 2014
ASSALAMUALAIKUM WR-WB Selamat Datang Di Blog Dayah Mulia... Blog aneuk dayah mulia.. semoga dengen blog nyoe tanyoe aneuk dayah mulia jeut tabagi-bagi informasi dan ilmu , dan bermamfaat bagi tanyoe bersama. Hidup aneuk dayah mulia. "BEST ADaM" IS THE BEST


 LINTOE DAN DARA BAROE





   v  Nibak uroenyoe uroe seujahtra
Neubri le tuhan yang kuasa...
Linto baroe ngen dara baroe...
Meusandeng ateuh peulamin raja...

    v  Di Allah neuciptakan dua insan
Dalam donya cukop bahagia.... sayang

   v  Nyankeuh nikmat Allah bri wahai intan lon
            Sayang....
Sinoe lam donya...
Neu peujudoe inoeng agam...
Neu peu bahgia..

v  Nibak uroenyoe cukop seujahtra
Neubrie le tuhan yang kuasa..
Linto baroe ngen dara baroe....
Meusandeng ateuh peulamin raja...

v  Di Allah neuciptakan dua insan
Dalam donya cukop bahagia.... sayang

v  Nyankeuh nikmat Allah bri wahai intan lon
Sayang....
Sinoe lam donya...
Neu peujudoe inoeng agam...
Neu peu bahgia..

v  Nikmat Allah brie beuna peulara..
Nikmat Allah brie beu keubahgia..
Lam keuluarga...
Beu keu seujahtra...

v  Nikmat Allah brie beuna peulara..
Nikmat Allah brie beu keubahgia..
Lam keuluarga...
Beu keu seujahtra...

v  Nibak sie uroe putroe ngen raja
Dalam meuligoe meusandeng dua
Peu bahgia droe... peu gembira droe...
Dalam meuligoe meu poh2 cakra


v  Nibak sie uroe putroe ngen raja
Dalam meuligoe meusandeng dua
Peu bahgia droe... peu gembira droe...
Dalam meuligoe meu poh2 cakra

v  Di Allah neuciptakan dua insan
Dalam donya cukop bahagia.... sayang

v  Nyankeuh nikmat Allah bri wahai intan lon
Sayang...
Sinoe lam donya...
Neu peujudoe inoeng agam...
Neu peu bahgia..

v  Dalam syiruga.... na dara baroe...
Jidoeng bak pintoe
Jidoeng bak pintoe
Ceungeuk u luwa

v  Jidoeng bak tingkap
Di moe jih bak ee,
Di preh woe judoe.. muda belia

v  Jidoeng bak tingkap
Di moe jih bak ee,
Di preh woe linto.. muda belia

v  Dalam nuraka, kawee sinaroe....
Meucawiek asoe..  Meucawiek asoe..
Soe yang durhaka

v  Titi Nuraka ban lagoe peudeung
Jie tampoe linteung ban putoh dua..

v  Titi Nuraka ban lagoe peudeung
Jie tampoe linteung ban putoh dua.....







Kamis, 19 Juni 2014


ASSALAMUALAIKUM WR-WB Selamat Datang Di Blog Dayah Mulia... Blog aneuk dayah mulia.. semoga dengen blog nyoe tanyoe aneuk dayah mulia jeut tabagi-bagi informasi dan ilmu , dan bermamfaat bagi tanyoe bersama. Hidup aneuk dayah mulia. "BEST ADaM" IS THE BEST

I. Biografi syaikh Abdurrauf dan karyanya Mir’atul Tullab

Syekh Abdurrauf bin Ali al-Jawi, sedangkan kuniyah/silsilah) al-Singkili diberikan oleh para sarjana.

Ia lahir di Barus atau Singkel, diperkirakan awal abad 17. Pada tahun 1641/1642 M, ia berangkat menuntut ilmu ke Yaman dan Haramain (Mekkah-Madinah) pada awal tahun Sultanah Tajul Alam Safiyatuddin (1641 M). Jadi dipastikan ia mengetahui pertikaian yang terjadi di kesultanan antara pengikut Syamsuddin al-Sumatrani dan Nuruddin al-Raniri, karna Syekh Abdurrauf masih di Aceh pada periode Nuruddin ar-Raniri atau Sultan Iskandar Tsani.

Selama 19 tahun di Arab (1642-1661 M), ia kembali ke Aceh. Pada tahun 1662 M dan menjadi Shayhkul Islam, jabatan di Kesultanan Aceh yang pernah disandang oleh syaikh Syamsuddin al-Sumatrani (w. 1630) dan syaikh Nuruddin al-Raniri (1637-1644 M).

Jadi ada gap (jurang) yang kosong untuk jabatan Syaikhul Islam, yaitu 7 tahun setelah Syamsuddin al-Sumatrani meninggal atau sebelum kedatangan Nuruddin ar-Raniri, dan juga + 17 tahun setelah kepulangan Nuruddin ar-Raniri. Ini disebabkan belum banyak diungkapkan oleh para sarjana sampai saat ini, karena masih sedikit para ilmuwan yang merujuk ke naskah-naskah (manuskrip) untuk mendapat data-data masa lalu. Menurut Hermansyah (filolog Aceh) jabatan syaikhul Islam dan Qadhi Malik Adil setelah Syamsuddin al-Sumatrani wafat adalah syaikh Faiz al-Fairusi al-Baghdadi (1630-1636 M), yaitu diakhir-akhir masa pemerintahan sultan Iskandar Muda. Ini diketahui melalui naskah kuno tarekat silsilah Syattariyah Tgk Ali di Tanoh Abee.


Mir'at Al Thullab

Sedangkan Syaikhul Islam sebelum Abdurrauf Syiah Kuala adalah kemungkinan Sayf al-Rijal, namun tidak dapat dipastikan berapa lama ia di lingkungan Kesultanan. Ia ulama yang pernah mengeyam pendidikan di Aceh, Minangkabau dan Surat (India) dan memenangi debat/diskusi dengan Nuruddin al-Rarini yang mengakibatkan ia kembali ke India. Informasi ini diperoleh dalam penelitian Takashi Ito melalui laporan tertulis (juga disebut mansukrip) Peter Sourij kepada delegasi Belanda tahun 1644 M.

Pada tahun 1662 M, syakh Abdurrauf Syiah Kuala yang terkenal alim, keramat, dan guru dalam tarekat Syattariyah serta ulama yang sangat dihormati resmi sebagai Syaikhul Islam. Ia dikenal melalui karya-karyanya yang spekakuler, komprehensif dan pembawa perdamaian antar kelompok yang bertikai di Aceh, baik akibat perselisihan akidah ataupun kekuasaan.

Karya-karyanya masih dikenal hingga kini dan belum tertandingi, terutama bidang tasawuf, kalam, tafsir, dan fiqh. Dalam bidang Fiqh yang sangat terkenal salah satunya karyanya adalah kitab Mir’atul Tullab (judul lengkapnya Mir’atul Tullab fi Tashil al-ma’rifat al-Ahkam wal Syari’ah lil Malik al-Wahhab : Cermin segala mereka yang menuntut ilmu Fiqh untuk memudahkan mengenal segala syariat Allah).

Kitab ini disusun atas permintaan Sultanah Tajul Alam Safiatudin Syah, dimulai sekitar tahum 1663, atau diawal bergabungnya dalam lingkungan Kesultanan (1663 M). Ini dapat ditunjukkan dengan alasan Syaikh Abdurrauf pada mukaddimah kitabnyamenyebutkan bahwa awalnya ia enggan menerima tugas tersebut, karena ia belum fasih dalam menulis bahasa Jawi (Melayu), sebab lama di negeri Yaman, Mekkah dan Madinah, dan baru-baru kembali ke Nusantara. Tetapi dengan bantuan dua orang saudaranya, (saya belum mendapatkan nama kedua saudaranya, mungkin bisa diperoleh dalam teks Miratul Tullab bpk Tarmizi), maka iapun mengarang kitab ini untuk orang (lembaga pemerintahan) di lingkungan Qadhi, kehakiman, kejaksaan, ataupun lembaga penegakan hukum dan syariat Islam lainnya.

Kitab Mir’atul Tullab terdiri atas 3 bab/pembahasan:

a). Hukum Fiqih, baik persoalan Muamalah (perdata), nikah dan segala permasalahan keluarga, termasuk didalamnya permasalahan warisan (faraidh: pembagian harta pusaka), termasuk hukom warisan tanah negara, dan segala hasil bumi didalamnya .

b). Hukum Ba’i (persoalan jual beli dan segala perkara yang terkandung didalamnya, hukum laba dan bunga).

c). Hukum Jinayah (penegakan hukum syariat, termasuk didalamnya hukum perdata dan kriminal atau permasalahan kontemporer).

Permintaan Sultanah Safiyatuddin sangat beralasan, karena segala problema masyarakat yang kompleks dan beraneka ragam belum terdapat satupun karya dalam bahasa Melayu. Bahkan, belum ada pedoman (sekarang : Qanun/Undang2) sebagai pedoman Kesultanan/ Pemerintahan. Karena yang menjadi landasan sebelumnya pada bidang Fiqh kitab Siratul Mustaqim karya Nuruddin ar-Raniry, meliputi bidang Taharah (bersuci), Shalat, Zakat, Puasa dan Haji. Karenanya, Abdurrauf dikenal sebagai ulama pertama yang menulis mengenai fiqh mu’amalat, sehingga kitab Mir’atul Tullab sebagai solusi di Kesultanan dan masyakarat saat itu.

Maka kemudian dikenal dengan “Adat bak Poteu Meuruhoem, Hukom bak Syiah Kuala Kanun bak Putroe Phang, Reusam bak Laksamana”, karena aplikasi dan penerapan langsung hukum-hukum syariat dan fiqh di masyarakat diprakarsai oleh Abdurrauf Syiah Kuala.

Oleh sebab itu, sumber utama kitab ini adalah Fath al-Wahhab, syarah kitab Minhaj Tullab yang disusun oleh Abu Yahya Zakariyah al-Ansari. Kitab Minhaj Tullab adalah ringkasan dari kitab Minhaj al-Talibin karangan imam Nawawi (w. 676 H/1277 M). Kitab Tuhfat al-Muhtaj dan Fath al-Jawab karya Ibn Hajar al-Haytsami (w. 973/1565 M), kitab imam al-Ghazali (w. 505 H/1112 M) yang masing-masing berjudul al-Wasit dan al-Basit.

Pengaruh kitab Mir’atul Tullab bukan hanya sebagai pedoman di Kesultanan Aceh. Akan tetapi, menurut MB Hooker (1984) mengemukakan, Lumaran, kumpulan hukum Islam yang digunakan kaum Muslim Miquidanao, Filipina, sejak pertengahan abad ke-19, menjadikan kitab Mir’atul Tullab sebagai salah satu acuan utamanya. Demikian juga bab Faraidh di dalam Mir’atul Tullab menjadi pedoman dan digunakan di wilayah Melayu-Nusantara; yaitu termasuk wilayah Nusantara (terutama Sumatera, Jawa dan Sulawesi), Malaysia, Patani (Thailand Selatan) dan Brunai Darussalam. Ini terbukti ditemukan kitab-kitab cetakan Ilmu Faraidh karya Abdurrauf Singkili di Singapura, Jeddah (Haramayn) dan Malaysia.

Murid-murid Abdurrauf yang terkenal adalah
Burhanuddin Ulakan (Tuanku Ulakan) (1646-1693 M) dari Minangkabau, dan mengembangkan tarekat Syatariyah di Minagkabau (Sumatera Barat).
Abdul Muhyi, Pamijahan- Jawa Barat, pengembang tarekat di Jawa
Abdul Malik bin Abdullah (1678-1736 M) dikenal juga sebagai Tok Pulau Manis, dari Terengganu
Murid terdekatnya adalah Dawud al-Jawi al-Fansuri bin Ismail bin Agha Mustafa bin Agha Ali al-Rumi. Kemungkinan ayahnya berasal dari Turki, sebagai pasukan perang Turki yang membantu Aceh terhadap serangan Portugis, namun ia lahir di Aceh (Fansur-Aceh Singkel)
Kemungkinan juga Muhammad Yusuf al-Makassari (1627-1699 M) belajar kepadanya atau sama-sama belajar. Namun, yang pasti mereka pernah bertemu.
Dan beberapa ulama dari Patani, sebelum syeikh Daud bin Abdullah al-Fatani




Halaman kedua dan ketiga Naskah Mir'at Al Thullab

II. Macam-macam (Various) Teks Naskah dalam 1 Bundel

Salah satu naskah yang unik dan sangat penting juga yang dimiliki adalah teks bermacam-macam (miscellaneous) dalam satu bundel naskah (1 ikatan yang tak terpisah). Biasanya dilakukan oleh seseorang penyalin melihat pentingnya naskah-naskah ada pada saat itu, sehingga disalin dalam satu bagian yang menyatu dan tidak terpisahkan, seperti satu bundel naskah ilmu tasawuf, satu bundel ilmu pengetahuan alam (ta’bir gempa, hukum melaut, waktu bertanam), atau satu bundel obat-obatan, yang terdapat segala macam obat didalamnya.

Naskah-naskah diatas semuanya ada, termasuk tentang tasawuf. Bahwa dalam satu bundel naskah terdapat 16 judul teks naskah / 16 judul pembahasan. Di antaranya:
Tasawuf
Durr al-aqa’id li-abtal aqwal mulahid, karya Nuruddin ar-Raniri. Ini adalah judul kitab terbaru yang ditemukan, dan belum diidentifikasi oleh para sarjana di katalog-katalo, atau buku karya mereka, seperti Ahmad Daudi, Tudjimah, Shaghir Abdullah, dll. Menurut Hermansyah, ini temuan terbaru kitab karya Nuruddin ar-Raniri hingga menjadi bertambah jumlah kitabnya, dan menjadi naskah langka karna belum ada ditempat lain.
Asrar suluk ila malakil muluk
Syifaul Qulub: karya Nuruddin ar-Raniri
Hill al-Zill; karya Nuruddin ar-Raniri
Syifaul Qulub dan Umdatul Muhatajin; Nuruddin ar-Raniri dan Abdurrauf Singkili
Doa-doa tasawuf,
Ilmu kebal dan doa keramat
Hikayat Nur Muhammad; Syamsuddin al-Sumatrani
Tanda Kiamat; Abdurrauf Syiah kuala
Kasyful Muntadhar; Abdurrauf Syiah kuala
Daqaiq al-huruf; Abdurrrauf Syiah kuala
Martabat Tujuh : Syamsuddin al-Sumatrani
Sedengkan teks lainnya tanpa judul.

Melihat judul-judul kitab diatas, maka satu bundel naskah itu sangat penting, yang kadang masyarakat kurang memahami dan mengerti isi di dalamnya. Dia bukan hanya satu aspek pembahasan, dan bukan hanya satu karya ulama saja.

Sepatutnya juga, ini lebih kepada kajian ilmuwan yang bisa dilakukan dan dikembangkan oleh lembaga-lembaga intelektual seperti lembaga pengkajian dan lembaga pendidikan tinggi, yaitu universitas; baik IAIN Ar-Raniri dan Unsyiah. Karena kedua universitas tersebut memiliki kapasitas dan kualitas untuk menelaah lebih dalam karya-karya mereka, sebagai lembaga yang memakai jasa nama-nama ulama tersebut. Namun, sejauh ini belum ada kearah sana.

Padahal beberapa universitas di dalam negeri seperti UI, UGM dan Unpad telah melakukan program rekonstruksi dan reproduksi karya-karya ulama terdahulu, untuk menggali ilmu yang terdapat dalam naskah-naskah kuno. Hal yang sama sebelumnya sudah dilakukan di Malaysia, dan satu abad sebelumnya di Leiden University melalui kajian naskah.



III. Nazam dan teks-teks suntingan lainnya

Program kita (Rumoh Manuskrip) kedepan adalah merekonstruksi naskah-naskah kuno ke dalam bahasa Latin, atau disebut transkripsi/transliterasi teks. Yaitu proses penyuntingan teks naskah kuno dari Arab-Jawi ke Latin, sehingga bisa banyak dibaca oleh khalayak umum, tidak disitu saja, bahkan dikaji dalam konteks keilmuan sekarang (konstekstual).

Salah satunya buku Nazam Aceh, merupakan contoh hasil dari teks naskah kuno yang disunting dan diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia, dan dikaji dengan keilmuan yang selaras dengannya.

Oleh karena itu, program kita ke depan bukan hanya inventarisasi dan restorasi (perbaikan) naskah, artinya naskah yang ada ditangan saya tidak hanya terpendam di dalam lemari besi atau di rumah saja. Akan tetapi tujuan utamanya adalah kajian tekstual (kajian teks naskah) dan kontekstual (ilmu yang didalam naskah) dengan ilmu yang berkembang saat ini. Sehingga harapannya bisa bekerja sama dengan pihak pemerintah dalam bidang apapun, LSM/NGO dan lembaga pendidikan seperti IAIN dan Unsyiah.
Kamis, 12 Juni 2014
ASSALAMUALAIKUM WR-WB Selamat Datang Di Blog Dayah Mulia... Blog aneuk dayah mulia.. semoga dengen blog nyoe tanyoe aneuk dayah mulia jeut tabagi-bagi informasi dan ilmu , dan bermamfaat bagi tanyoe bersama. Hidup aneuk dayah mulia. "BEST ADaM" IS THE BEST

Bersedakah Di Masjid Berbuah Terbebasnya Hutang


Dayah Mulia.
 Salmah tahu, Allah akan menggantikan berlipat-lipat dari yang ia sumbangkan. Ia sangat percaya, janji Allah itu benar dan pasti akan ditepati. Nuraninya demikian kuat. Meski sebenarnya ia ingin membuktikan, apakah benar Allah akan menggantinya dengan jumlah berlipat-lipat.
Allahu Akbar, Allahu Akbar…! Suara adzan isya di bulan Ramadhan 1430 H menggema di seluruh kawasan pusat kota Lhokseumawe. Lebih nyaring dan ke­ras terdengar oleh Salmah, yang baru saja pulang bekerja. Ya, suara adzan ada­lah hiburan lima kali sehari yang se­lalu terdengar oleh Salmah, seorang ga­dis yang ngekos di salah satu sudut kam­pung di Kawasan Simpang Empat,Kota Lhokseumawe. Letak rumah kosnya dengan masjid Islamic Center tidak begitu jauh . Sehingga apa pun kegiatan yang ada di masjid, hampir dipastikan Salmah bisa mendengarnya.
Malam itu, setelah pulang kerja, de­ngan tergesa-gesa ia membersihkan tu­buhnya, berbuka dengan segelas teh ha­ngat dan sepotong kue, ia pun menyam­bar mukenanya. Shalat Maghrib sudah ia laksanakan di kantornya. Tidak lupa ia mengambil uang lima ribuan dari dom­pet warna cokelat yang sudah diper­kira­kan berusia delapan tahun.
“Ah, masa’, nyumbang ke masjid se­lama ini cuma seribu-dua ribu. Itu pun sisa-sisa uang receh ongkos naik ang­kot. Mulai sekarang setiap hari aku akan nyumbang minimal lima ribu,” ujarnya dalam hati berjanji, sambil memasukkan uang dalam kantung gamisnya.
Entah kesadaran dari mana, yang pasti, Salmah merasa ada ketidakadilan masyarakat sekitarnya, terutama di ling­kungan rumah kosnya. Terutama soal sumbang-menyumbang ke masjid, yang biasanya ada kotak amal yang beredar ke jama’ah shalat Tarawih. Salmah mem­perhatikan, ibu-ibu memasukkan sumbangan ke kotak amal jariyah beru­pa uang receh, atau seribuan kucel.
Lalu, hasil sumbangan dari kotak amal jariyah itu setiap malam diumum­kan oleh petugas masjid. Jum­lahnya me­mang selalu ber­tambah, tapi seringnya ti­dak lebih dari seratus ribu setiap ma­lam.
Salmah, yang ter­nyata belakangan se­ring memperhatikan jum­lah saldo mas­jid, dari hari ke hari menjadi miris. Mengapa jama’ah masjid yang sebagian besar rumahnya bagus-bagus tidak me­nyumbang lebih banyak? Termasuk diri­nya?! Meskipun hanya anak kos, sebe­narnya ia mampu menyumbang lebih banyak, karena ia bekerja di perusahaan asing, apalagi di bulan Ramadhan, yang penuh berkah.
***
Ramadhan 1431 H, Salmah masih dengan kegiatannya seperti tahun lalu. Pulang kerja, ia bersiap untuk Tarawih di masjid samping kosnya. Alhamdulillah ada kemajuan dengan masjid tersebut saat itu. Sudah beberapa bulan bela­kangan, masjid itu mulai dibangun kem­bali. Meski terlihat rampung sekitar 50 persen, masjid masih bisa digunakan un­tuk shalat Tarawih warga sekitar.
Kegiatan sumbangan dengan kotak amal masih tetap berlangsung seperti tahun sebelumnya. Diedarkan, kemudi­an diumumkan berapa sumbangan yang diterima masjid malam itu. Salmah masih setia menyumbang lima ribu rupiah se­tiap malam saat Tarawih.
Namun Tarawih tahun ini, Salmah merasakan lebih nyaman berada di mas­jid itu. Meski kubahnya belum selesai, kebersihan masjid membuatnya betah dan bersemangat shalat Tarawih.
Hatinya tersentuh melihat pem­ba­ngun­an masjid itu belum juga selesai. Ia pun tersadar, pembangunan masjid ter­sebut tentunya mem­butuhkan biaya ba­nyak dari jama’ahnya. Maka ia pun ber­janji, malam Tarawih besok­nya ia akan menyum­bang lebih banyak. Apa­lagi ia tahu, Allah akan menggantikan berlipat-lipat dari yang disum­bang­kan. Ia sangat percaya, janji Allah itu benar dan pasti akan ditepati. Nuraninya demikian kuat. Meski sebenarnya ia ingin mem­buktikan, apa­kah benar Allah akan meng­gantinya de­ngan jumlah berlipat-lipat.
Malam Tarawih berikutnya, Salmah menyelipkan uang seratus ribuan warna merah ke dalam kantung gamisnya. Saat kotak amal diedarkan di depannya, ia me­masukkan uang itu dengan menutup­kan tangannya, berharap jama’ah ibu-ibu yang lain tidak melihatnya. Dalam hati Salmah berkata, “Aku ingin hanya Allah dan aku yang tahu berapa rupiah uang yang aku sumbangkan. Ya Allah, aku percaya, engkau akan mengganti uang ini hingga berkali-kali lipat.” Lalu, “Bismillahirrahmanirrahim…,” ucapnya dalam hati sambil memasukkan uang seratus ribuan itu.
Dalam sejarah hidupnya, ia sama se­kali tidak pernah menyumbang demikian banyak. Selain pemahaman agama yang terbilang masih minim, dalam ke­hidupan sehari-hari ia melihat bahwa me­nyumbang itu, ya, sekadarnya, bah­kan sisa-sisa uang receh. Tidak terma­suk dalam rencana anggaran keuang­annya.
Namun, meski hatinya seratus per­sen ikhlas menyumbang untuk renovasi masjid, dalam lubuk hati paling dalam ia berharap bahwa Allah akan membalas­nya.
“Apalagi di bulan Ramadhan ini, amal seseorang pahalanya akan berkali-kali lipat. Semoga saja amalku ini terus meng­alir hingga aku telah meninggal ke­lak,” katanya dalam hati. Salmah menge­tahui, amal seseorang tidak akan terpu­tus hingga dia meninggal dengan ada­nya tiga perkara, seperti yang ia dapat dari pengajian.
Dari Abu Hurairah Radhiallahu ‘Anhu, Rasulullah SAW bersabda, “Jika anak Adam meninggal, amalnya terpu­tus kecuali tiga perkara: sedekah jariyah, ilmu yang bermanfaat, dan doa anak yang shalih yang berdoa untuk orang­tuanya.’’ (HR Muslim).
Nah, Salmah ingin mendapatkan sa­lah satu dari tiga perkara itu, yaitu se­dekah jariyah.
***
Bulan Ramadhan 1431 H pun ber­lalu, Salmah seperti biasa melakukan kegiatan sehari-hari dan rutinitasnya. Berdesak-desakan di bus untuk menca­pai tempat kerjanya yang terletak di ka­wasan elite.
Beda dari biasanya, setiap hari Sal­mah dengan rajin mengumpulkan sisa-sisa uang kembalian naik bus dan ang­kot di kantung khusus. Ya, dalam hati ia berjanji dalam sehari ia harus bisa mem­beri kepada orang-orang yang membu­tuhkan. Meskipun cuma seribu sehari.
Hingga pada saatnya, ia harus ke rumah salah satu saudaranya, tempat ia meminjam uang beberapa bulan se­belum bulan Ramadhan.
Terbayang olehnya, waktu itu ia ingin membeli rumah di kawasan pinggir kota Lhokseumawe yang terbilang cukup murah. Saat akad kredit, ternyata uang mukanya, Rp 5 juta, harus lunas lebih dulu. Padahal, waktu itu pihak pengembang bilang bah­wa uang muka bisa dicicil. Salmah me­nyangka, uang muka dicicil setiap bulan, sehingga agak ringan. Dari penghasilan per bulannya ia mengkalkulasi bisa mem­bayar uang muka rumah tersebut. Na­mun, uang muka dicicil ya, pembayar­annya beberapa kali, tapi dalam satu bulan. Sedangkan tanggal kapan akad kreditnya ditentukan oleh pihak pengem­bang.
Salmah pun kelimpungan, karena tang­gal akad kredit sudah ditentukan sedangkan uang muka belum lunas. Ti­dak mungkin ia mundur begitu saja, ka­rena sebagian uang muka dan uang tan­da jadi sudah masuk ke pengembang. Kalau ia mundur, uang begitu saja akan hangus dan pembeli yang lain sudah antre siap menggantikannya. Jalan ke­luarnya, ia akhirnya pinjam kepada sau­daranya, Siska, saudara dari pihak ka­kek dari ibunya.
Alhamdulillah, pinjaman itu Salmah dapatkan. Tentu dengan perjanjian, Sal­mah akan membayar secara bertahap setiap bulan. Itu pun jika Salmah sudah siap, maksudnya tidak harus mulai ka­pan. Jika keuangan Salmah longgar, ia akan membayar. Sangat fleksibel sau­daranya itu memberikan kelonggaran waktu pembayaran kepadanya.
Hingga saatnya, Salmah menemui saudaranya itu untuk membayar cicilan pertama kalinya. Ia merasa, bulan itu ada pemasukan lumayan, sehingga ia ber­tekad mencicil membayar utangnya. Saat sudah bertemu dan mengobrol, gi­liran Salmah akan membayarkan utang­nya, apa jawaban saudaranya itu?
“Sudahlah, Mbak, tidak usah dibayar, uang itu saya hadiahkan saja buat Mbak. Mbak kan ingin punya rumah sendiri? Mudah-mudahan uang segitu bisa mem­­bantu, ya…,” ujar Siska lem­but.
“Alhamdulil­lah…. Tapi be­neran nih, Mbak?” tanya Salmah se­tengah tidak per­caya.
Siska mengang­guk dengan mata ber­binar. Tampaknya ia juga sangat se­nang bisa mem­buat saudaranya itu de­mikian gem­bira dan penuh syukur.
“Ya Allah, semoga rizqi Mbak Siska makin bertambah, makin berkah, ya, Mbak…,” doa Salmah sambil mengulur­kan tangan bersalaman dan memeluk erat Siska.
Sampai di rumah, Salmah mere­nung. Allah demikian mudahnya mem­bo­lak-balikkan hati hamba-Nya. Memba­likkan hati saudaranya itu untuk membe­baskan utangnya begitu saja. Tanpa syarat.
“Mungkinkah ini jawaban Allah atas apa yang aku lakukan di bulan puasa beberapa bulan lalu? Ya, Allah… benar, ini benar-benar terjadi. Mana mungkin ini bukan campur tangan-Mu?” Salmah pun ingat dengan uang seratus ribu yang ia sumbangkan ke masjid. Sang Pe­nguasa Alam benar-benar telah menja­wab, menepati janji-Nya, membuktikan bahwa janji-Nya itu adalah benar.
Allah, pemilik alam semesta, mem­perlihatkan kebesaran-Nya. Allah meng­ganti uang seratus ribu itu dengan ber­kali-kali lipat. Bayangkan, uang 100 ribu diganti menjadi 5 juta. Jadi, bila dilipat­gandakan, Allah te­lah meng­ganti hing­ga 50 kali lipat. Ya, 100.000 x 50 = 5.000.000! Ti­dak lama sete­lah Ramadhan berlalu.
Salmah ber­kali-kali mengu­capkan syukur, se­kaligus ber­istigh­far, karena ia sebe­narnya saat itu masih ingin mem­buktikan apa­kah Allah benar-benar akan memba­las sede­kahnya, apakah Allah be­nar-benar akan menggantinya.
Tak terasa air bening mengalir di pipinya. Berkali-kali ia memohon ampun, karena dirinya sempat meragukan janji Allah SWT.
“Ya Allah, ampunilah hamba-Mu yang dhaif ini. Sebenarnya berapa pun Engkau sanggup memberikan balasan kepada hamba-Mu dengan berlipat-lipat sesuai kehendak-Mu. Hanya Engkau yang tahu kebutuhan hamba. Terima kasih, ya, Allah….”(TS)
ASSALAMUALAIKUM WR-WB Selamat Datang Di Blog Dayah Mulia... Blog aneuk dayah mulia.. semoga dengen blog nyoe tanyoe aneuk dayah mulia jeut tabagi-bagi informasi dan ilmu , dan bermamfaat bagi tanyoe bersama. Hidup aneuk dayah mulia. "BEST ADaM" IS THE BEST


“Panglima Polem itu bukan satu orang, seperti yang dipikirkan masyarakat selama ini. Panglima Polem I , II, dan Panglima Polem III berjuang melawan Portugis. Sedangkan Panglima Polem IV sampai Panglima Polem X berjuang melawan Belanda…”

Oleh Junaidi Mulieng (*
 
SAYA sudah tiga tahun menemani Panglima,” ungkap lelaki tua itu. “Itu saya lakukan atas kerelaan dan keikhlasan hati saya. Tidak ada bayaran sedikit pun yang saya terima dan saya tidak mengharapkan apa-apa,” lanjutnya.
Namanya Teungku Abdullah. Rambutnya sudah memutih. Dari kaki sampai wajahnya dipenuhi keriput. Ia menyandarkan tubuhnya yang lemas pada sebidang kayu yang jadi sekat tempat penyimpanan padi. Abdullah adalah penjaga arel permakaman Panglima Polem.
“Meunoe keuh meunyoe ka tuha, meusapeu hanjeut ta peubeut le (beginilah kalau sudah tua, tidak bisa kerja apa-apa lagi),”sambung Abdullah dengan suara parau. Ia mengenakan baju putih tua lengan panjang yang dilipat sebatas siku dan celana abu-abu.
“Ka lhee beuluen Abu saket, hana geujak sahoe (sudah tiga bulan Abu sakit, beliau tidak ke mana-mana),” ujar Yusuf, sang cucu yang mendampinginya.
Usia Abdullah 90 tahun. Suaranya pelan dan parau, sehingga beberapa kali apa yang diucapkannya kurang jelas terdengar. Untuk berbicara dengannya pun harus dengan nada tinggi, karena pendengarannya juga mulai terganggu.
“Hana pah le londeungoe, beurayek bacut gata peugah hai neuk (pendengaran saya sudah tidak pas lagi, yang besar sedikit ngomongnya nak),” kata Abdullah.
Abdullah tinggal di rumah sederhana. Atap rumbia, lantai bambu. Dinding rumah terbuat dari anyaman pelepah rumbia. Rumah itu hanya terbagi dua bagian. Satu untuk dapur, satunya lagi untuk kamar tidur. Rumah Abdullah tak jauh dari areal pemakaman Panglima Polem.
 
SUARA jangkrik hutan terdengar nyaring di areal permakaman. Letaknya di desa Lam Sie, kecamatan Seulimum, Aceh Besar. Bukit-bukit kecil, pegunungan, dan hamparan sawah yang membentang luas dengan padi mulai menguning mengitari permakaman seluas setengah hektare ini.
Sebuah balai merah muda terlihat dipenuhi dedaun gugur. Dekat pintu masuk salah satu makam terdapat sumur dengan kedalaman sekitar 20 meter. Ilalang dan semak tumbuh di sekeliling makam, mulai dari pintu masuk, sampai ke dalam. Ini membuat tempat itu terkesan tak terawat. Nisan-nisan tua kebanyakan tak bernama.
Di depan permakaman terdapat dua pengumuman. Di beton bercat putih yang mulai mengelupas itu tertulis “Komplek Pemakaman T. Panglima Polem”, sedangkan di lempeng besi yang dipenuhi karat tertera peringatan: “Dilarang menjarah atau merusak peninggalan sejarah purba kala.”
Seingat Abdullah, makam Panglima Polem sudah ada sejak puluhan tahun lalu. Sekitar tahun 1800-an. Awalnya makam itu dibangun secara sederhana, layaknya permakaman lainnya. Beberapa tahun lalu pihak keluarga mulai melakukan pembangunan kembali makam tersebut. Namun Abdullah tidak mengetahui pasti siapa yang menjaga makam itu sebelum dia.
Ketika sedang asyik bercerita, tiba-tiba Abdullah mencoba bangkit dan berdiri, meskipun kakinya sudah tidak bisa digerakkan lagi.
“Hoe keu neuk jak Abu? (mau kemana Abu),” tanya Yusuf pada kakeknya.
“Lon grah, keu neuk cok ie (saya haus, mau ambil air),” ujar Abdullah.
“Neu duek hinan mantoeng, bah lon nyang cok. (duduk di situ saja, biar saya yang ambil),” sahut Yusuf.
Baru saja Yusuf mau bergerak dari tempat duduknya, Sakdiyah keluar dari ruangan sebelah sambil membawa segelas air putih untuk Abdullah. Rupanya Sakdiyah mendengar ketika Abdullah, ayahnya, meminta air.
“Kakek saya memang seperti itu, tidak pernah mau menyusahkan orang. Semuanya mau dikerjakan sendiri. Terkadang saya iri padanya. Walaupun sudah tua dan sakit seperti ini, tapi semangat kerjanya luar biasa,” kata Yusuf dengan nada serius.
Menurut Abdullah, ia tidak pernah menerima bantuan apa pun dari pemerintah selama ia menjaga makam. Ia hanya memperoleh sedekah ala kadarnya dari para peziarah makam.
“Dari situ saya beli beras atau setumpuk ikan,” kata Abdullah.
Biasanya, hampir tiap minggu ada peziarah yang berkunjung ke makam tersebut. Di antara mereka ada yang ingin melepas nazar (janji), maupun hanya sekedar berziarah melihat-lihat tempat bersejarah.
Abdullah masih berharap akan ada bantuan dari pemerintah agar permakaman itu bisa lebih terawat. Alasannya, makam-makam tersebut adalah makam para pahlawan yang telah berjasa terhadap kemerdekaan negara ini.
DARI permakaman itu saya mengunjungi sebuah rumah di tengah kota Banda Aceh, tepatnya di Lampineung, yang tampak begitu asri. Pepohonan dan bunga-bunga memenuhi halaman.
Seorang pria bersetelan sarung kotak-kotak merah hati dan kemeja warna senada tersenyum ramah di teras rumah itu. Ia adalah Teuku Zainul Arifin Panglima Polem. Desember nanti ia akan berusia 60 tahun. Ia anak Panglima Polem X, Teuku Muhammad Ali, sekaligus cucu Panglima Polem IX, Muhammad Daud.
“Kuburan itu sudah ada sejak tahun 1800-an sejak dimakamkan Panglima Polem I yang bernama Tengku Dibatee Timoh. Nama itu diberikan setelah beliau meninggal, karena batu nisannya yang terus tumbuh. Makam beliau berdekatan dengan makam besar Muhammad Daud,” tutur Arifin kepada saya.
Menurut Arifin, makam tempat Panglima Polem Muhammad Daud disemayamkan dibangun pemerintah Indonesia sekitar tahun 1970-an sebagai tanda penghormatan. Di dekatnya juga ada makam ayah Arifin, Panglima Polem X, Muhammad Ali.
“Panglima Polem itu bukan satu orang, seperti yang dipikirkan masyarakat selama ini. Panglima Polem I dan Panglima Polem III berjuang melawan Portugis. Sedangkan Panglima Polem IV sampai Panglima Polem X berjuang melawan Belanda,” ujar Arifin.
Arifin menceritakan silsilah Panglima Polem kepada saya.
“Sultan Iskandar Muda menikah dengan tiga perempuan. Dari istri pertama beliau mempunyai dua orang anak. Si sulung bernama Meurah Pupok. Ia dihukum mati karena dituduh berzinah,” kisah Arifin.
Kisah Meurah Pupok berzinah telah lama beredar di kalangan warga Aceh, tetapi kebenarannya masih diragukan. Belum ada bukti sejarah yang otentik tentang peristiwa tersebut.
Anak kedua Sultan bernama Sultanah Safiatuddin, yang menikah dengan Sultan Iskandar Tani. Namun pernikahan Safiatuddin dengan Iskandar Tani tidak menghasilkan keturunan.
Isteri Sultan yang kedua bernama Puteri Kamaliah atau lebih dikenal Puteri Pahang atau Putroe Phang. Ia puteri dari Kerajaan Pahang. Dari isteri keduanya ini pun Sultan tidak dikaruniai keturunan. Isteri ketiga Iskandar Muda bernama Nyak Meuligoe. Ia asal Lam Sie, Seulimum, Aceh Besar.
Dari isteri ketiga ini Sultan dikaruniai seorang putera bernama Tueku Imum Itam Maharaja yang bergelar Teuku Dibatee Timoh. Ia juga dimakamkan di permakaman Panglima Polem di Lam sie.
“Sebenarnya Panglima Polem (Teuku Dibatee Timoh) dijagokan menggantikan Sultan. Tapi karena ia merasa bukan anak dari istri pertama, ia membantu adiknya, Safiatuddin untuk menjalankan pemerintahan. Karena itulah ada embel-embel Polem di belakang nama Panglima, yang berarti Abang,” jelas Arifin.
Teuku Dibatee Timoh mempunyai seorang putera yang diberi nama Teuku Panglima Polem Cut Sakti Lamcot (1675) atau Panglima Sagi XXII Mukim/Mangkubumi. Kepada Cut Sakti Lamcot inilah gelar Panglima Polem pertama kali diberikan. Setelah Cut Sakti Lamcot meninggal dunia, gelar Panglima Polem diwariskan kepada keturunan selanjutnya, yaitu Sri Muda Perkasa Teuku Panglima Polem Cut Lahat, Sri Muda Perkasa Teuku Panglima Polem Cut Kleung, Sri Muda Perkasa Panglima Polem Cut Ahmad (1845), Sri Muda Perkasa Teuku Panglima Polem Mahmud Cut Banta (1879), Sri Muda Teuku Panglima Polem Ibrahim Muda Raja Kuala (1896), dan Sri Muda Perkasa Teuku Panglima Polem Muhammad Daud (1896-1936).
Gelar Panglima Polem diberikan kepada keturunan Panglima Polem yang cakap dan cerdas. Tidak harus anak lelaki pertama.
“Seperti Panglima Polem II, yang bernama Teuku Muda Sakti, ia merupakan anak kedua Panglima Polem I. Sebenarnya, sang kakak Teuku Muda Suara yang menyandang gelar Panglima, tapi setelah dua bulan, gelar itu diberikan kepada adiknya yang dianggap lebih mampu,” lanjut Arifin.
Arifin kemudian berkisah tentang kakeknya, Teuku Panglima Polem Muhammad Daud. Pada Januari 1891 ia diangkat sebagai Panglima Polem IX untuk menggantikan ayahnya Panglima Polem Raja Kuala yang telah berpulang ke rahmatullah. Setelah pengangkatannya, dia diberi gelar Teuku Panglima Polem Sri Muda Setia Perkasa Muhammad Daud.
Dari kesepuluh Panglima Polem tersebut, yang paling banyak dicatat sejarah adalah perjuangan dan kehidupan Muhammad Daud. Fotonya banyak dipajang di sekolah-sekolah dasar. Lelaki itu memakai meukeutop, topi khas Aceh, baju putih, dan kacamata tebal-bundar seperti milik penyanyi pop Amerika terkenal yang mati ditembak, John Lennon.
Meski begitu, kata Arifin, banyak data sejarah yang ditulis sejarawan Indonesia melenceng dari kenyataan sebenarnya.
“Seperti adanya isu bahwa Panglima Polem (Muhammad Daud) menyerah kepada Belanda. Padahal Panglima Polem tidak pernah menyerah melainkan mengatur strategi baru untuk melawan Belanda.” Arifin menjelaskan tentang perjuangan kakeknya.
Menurut Arifin, pada tahun 1930-an sang kakek membangun komitmen dengan Belanda di Lhokseumawe. Dalam pertemuan tersebut, Muhammad Daud menyatakan tidak akan berperang gerilya. Hal itu disambut Belanda dengan penuh suka cita. Sebenarnya itu merupakan taktik sang panglima yang hendak berjuang lewat jalur pendidikan. Muhammad Daud kemudian mendirikan Ma’had Iskandar Muda atau disingkat MIM.
Pada saat itu ia melihat kondisi masyarakat Aceh yang dianggapnya sudah tidak mengindahkan lagi nilai-nilai agama.
“Akhirnya beliau turun gunung berhenti bergerilya. Pada tahun 1935 ia memanggil kembali ulama Aceh yang bernama Abu Lam U dan Teuku Indrapuri yang sedang berada di Malaysia untuk membenahi kembali masyarakat Aceh yang sudah lupa daratan,” kisah Arifin dengan semangat.
“Gelar Panglima Polem bukan sembarang diberikan, itu merupakan milik sah keluarga dan keturunan Panglima Polem. Tapi setelah ayah saya, Panglima Polem Muhammad Ali, gelar Panglima Polem hanya diletakkan di belakang nama saja, karena kita bukan pahlawan hanya pewaris,” lanjutnya.
Dari pernikahan Muhammad Daud dengan Teuku Ratna lahir seorang putra yang dinamai Teuku Panglima Polem Muhammad Ali atau Panglima Sagi XXII Mukim.
Muhammad Ali mempunyai dua orang istri, yaitu Teungku Putri dan Cut Nyak Bungsu. Isterinya yang pertama berasal dari Keudah, Kuta Raja (sekarang Banda Aceh). Dari Teuku Putri, ia dikaruniai empat anak. Mereka adalah Pocut Asiah, Teuku Hasan (almarhum), Teuku Abdullah (almarhum), dan Teuku Husni.
Cut Nyak Bungsu yang berasal dari Padang Tiji, Pidie, memberinya empat anak pula, yaitu Teuku Bachtiar Panglima Polem (almarhum), Teuku Iskandar Panglima Polem, Teuku Zainul Arifin Panglima Polem dan Pocut Ernawati.
DALAM buku Sumbangsih Aceh Bagi Republik yang disunting Teuku Mohammad Isa, disebutkan bahwa Teuku Panglima Polem Muhammad Ali merupakan seorang pahlawan Aceh yang telah berjuang sejak penjajahan Belanda sampai Jepang.
Lelaki kelahiran Lam Sie tahun 1905 ini sempat ditolak pemerintah Belanda untuk menggantikan ayahandanya Teuku Panglima Polem Muhammad Daud, selaku Panglima Sagi (Panglima Sago) XXII Mukim. Namun, ia akhirnya sah diangkat sebagai panglima sago pada pertengahan tahun 1941.
Pada 24 Februari 1942, Muhammad Ali memimpin serangan terhadap militer Belanda di Seulimeum sebagai titik awal perlawanan untuk kemerdekaan di Aceh Besar.
Di tahun 1944 ia berhasil mengambil alih pemerintahan dari pihak Jepang. Ia menjabat Asisten Residen Aceh dan Ketua Kemakmuran Karesidenan Aceh pada Desember 1945.
Di awal Juni 1948 presiden Soekarno berkunjung ke Aceh. Rakyat Aceh menyambut kunjungan presiden pertama Indonesia itu dengan meriah. Pada tanggal 17 Juni 1948, Gabungan Saudagar Indonesia Daerah Aceh (GASIDA) mengadakan jamuan khusus untuk Soekarno di Hotel Aceh, Kuta Raja.
Dengan nada sungguh-sungguh, Soekarno meminta rakyat Aceh membelikan dua pesawat udara untuk Republik Indonesia atau RI. Pesawat udara tersebut akan digunakan untuk menembus blokade udara total Belanda.
Tiba-tiba Haji Juned, wakil GASIDA, membisiki Muhammad Ali untuk menerima tantangan Soekarno itu.
Ia mengajukan dirinya menjadi ketua umum panitia pembelian dua pesawat terbang, yaitu Seulawah RI 01 dan Seulawah RI 02.
Minggu pagi, 20 Juni 1948, bertempat di pendopo Keresidenan Aceh, diadakan penyerahan secara simbolis dua pesawat tersebut kepada presiden Soekarno. Penyerahan dilakukan langsung oleh Muhammad Ali atas nama GASIDA sekaligus Residen Aceh dan Teuku Chiek Daudsyah, atas nama rakyat Aceh. Masing-masing menyerahkan Seulawah RI 01 dan Seulawah RI 02.
“Untuk pembelian pesawat udara Seulawah RI 01 dibeli dengan dana yang dikumpulkan dari GASIDA. Satu lagi, Seulawah RI 02, dibeli dengan dana yang dikumpulkan dari masyarakat Aceh. Setelah itu, baru diserahkan dalam bentuk mata uang untuk pembelian pesawat tersebut,” kisah Arifin.
Menurut Arifin, setelah penyerahan tersebut rakyat Aceh sedikit kecewa.
“Masyarakat Aceh menyumbang pada Soekarno untuk membeli dua pesawat. Namun yang terbeli hanya satu, sedangkan untuk satunya lagi tidak tahu. Raib entah ke mana,” kata Arifin.
Seulawah RI 01 ini, oleh Wiweko, seorang perwira Angkatan Udara Republik Indonesia atau AURI, dengan piawainya dikomersilkannya ke luar negeri, tepatnya di Burma, selama masa agresi Belanda II. Seluruh keuntungan usaha ini digunakan untuk membiayai kegiatan diplomat Indonesia di luar negeri. Dengan berbekal Seulawah RI 01, Wiweko membangun perusahaan penerbangan nasional Garuda Indonesia Airways.
“Sangkalan sebagian orang Indonesia bahwa fakta Seulawah RI 01 dan RI 02 dan Aceh sebagai daerah modal Republik Indonesia hanya mitos, perlu dikaji ulang,” kata Arifin, tegas.
PADA 1958, Muhammad Ali merasa tak ada lagi yang bisa dilakukannya di Aceh. Ruang geraknya hanya di dalam kota, sedang kondisi di luar kota tidak aman. Pasukan Darul Islam/ Tentara Islam Indonesia (DI/TII) menguasai Aceh.
“Ayah memutuskan untuk berangkat ke Jakarta. Untuk keamanannya, diurus Wakil Perdana Menteri II Kabinet AA (sebutan pada waktu itu), Kyai Haji Idham Khalid. Ayah saya diangkat menjadi penasehatnya dengan Surat Keputusan Nomor 62/WKPM/X/1958,” ujar Arifin.
Sementara itu Aceh sedang melakukan perdagangan dengan Penang, Malaysia. Dan berkat bantuan Wakil Perdana Menteri II Idham Khalid, dengan izin Menteri Perindustrian Ir. Inkiriwang, Muhammad Ali ditunjuk sebagai salah satu distributor semen Padang untuk Sumatera Utara.
Suatu malam di awal bulan Desember 1958, sewaktu Muhammad Ali sedang tidur nyenyak bersama Jusuf Gading di Krekot Bunder, Jakarta, tiba-tiba penginapan mereka digedor tentara. Setelah pintu dibuka, masuklah dua perwira yang menanyakan Muhammad Ali. Mereka memintanya menyiapkan pakaian untuk dibawa, karena ia akan ditahan.
Penahanan itu berdasarkan surat perintah yang ditandatangani Kepala Staf Angkatan Darat selaku Penguasa Perang Pusat waktu itu, Jenderal Abdul Haris Nasution.
“Penangkapan tersebut merupakan suatu kekeliruan dan ayah saya sama sekali tidak merasa takut waktu itu, karena beliau merasa tidak bersalah. Beliau yakin, setelah diperiksa, akan dibebaskan dan diperlakukan dengan baik dan sopan,” tutur Arifin.
Muhammad Ali dibawa ke Mampang I. Ini Markas Team Khusus SUAD I (sebutan untuk tentara waktu itu). Tak berapa lama, kemenakannya yang bernama Tuanku Husin bergabung dengannya di tahanan militer itu. Mereka menduga hal ini terjadi atas permintaan Jenderal Nasution.
Usut punya usut, rupanya penahanan ini berkaitan dengan pertemuan Muhammad Ali dan sejumlah rekannya, termasuk Tuanku Husin, dengan menteri dalam negeri. Pertemuan itu bertujuan agar tercapai perdamaian di Aceh yang tengah dilanda pemberontakan DI/TII.. Rombongan ini juga berniat menghadap presiden Soekarno.
Setelah ditahan di Mampang I, Muhammad Ali dibawa ke penjara Cipinang dan digolongkan sebagai tahanan politik.
“Setelah ditahan setengah bulan, ayah saya dipanggil ke kantor penjara. Di sana beliau difoto, diukur tinggi badan dan dibuat sidik jari. Seperti orang yang berurusan karena perbuatan kriminal. Kemudian disuruh kembali ke tempat dan tidak dilakukan apa-apa. Padahal dalam dalam perintah yang ditandatangani Jenderal A.H. Nasution, ayah saya diperiksa dalam waktu tiga kali dua puluh empat jam,” kisah Arifin.
Di akhir Agustus 1959, status Muhammad Ali menjadi tahanan rumah. Ini berdasarkan surat yang ditandatangani Jenderal Nasution dan Kapten Soedharmono.
“Sebulan setelah itu, status diubah menjadi tahanan kota. Selama tahanan kota, setiap hari Kamis, beliau harus melapor ke Mampang I. Akhir tahun 1959, ayah saya baru bebas dari semua status tahanan. Beliau ditangkap karena dicurigai terlibat dalam pemberontakan DI/TII. Namun kecurigaan tersebut tidak terbukti, karena ayah saya orang yang bersih dan ikhlas membela negara,” kata Arifin.
Setelah keluar dari penjara, saat pembentukan Majelis Permusyawaratan Rakyat Serikat Republik Indonesia atau MPRS RI tahun 1962, Muhammad Ali diangkat jadi anggota selaku utusan daerah bersama-sama dengan anggota lainnya.
“Tahun 1967, beliau diberhentikan secara hormat karena tidak terpilih lagi,” lanjut Arifin.
Namun tanggal 1 Agustus 1968, Menteri Negara Urusan Kesejahteraan Rakyat, Kyai Haji Idham Khalid mengangkatnya sebagai Penasehat Bidang Khusus, dengan keputusan Menteri Negara Kesejahteraan Rakyat No.32/Kpts/Kesra/VII/68.
MUHAMMAD Ali jatuh miskin ketika kembali ke Aceh. Tak lama setelah kembali ke kampung halaman, ia berusaha mengirim surat kepada menteri dalam negeri dengan perantara gubernur Aceh Sumatera untuk memohon agar dirinya diberikan tunjangan pensiun.
Ia melampirkan semua besluit (surat keputusan), kecuali satu, besluit pemberhentiannya sebagai bupati Pidie yang diperbantukan pada gubernur Sumatera Utara. Surat itu hilang. Meski salinannya tidak dilampirkan, tanggal dan nomor surat besluit tetap disebutkan.
“Dengan perantaraan temannya di Jakarta, ayah saya menyuruh untuk mencari dalam Arsip Departemen Dalam Negeri RI. Setelah ditemukan, ternyata bundel arsip ayah saya berisi satu bon dan sebagian isi bundel tersebut telah diambil oleh seorang pegawai dan pegawai tersebut telah meninggal dunia. Karena kekurangan besluit pemberhentian itu, keputusan tentang pensiunnya tidak dapat diberikan oleh menteri dalam negeri,” urai Arifin.
Menurut Arifin, pada 1962 Muhammad Ali pernah menerima sepucuk surat dari Departemen Pemerintahan Umum dan Otonomi Daerah yang berisi tentang penjelasan kesediaannya untuk diangkat kembali sebagai bupati Pidie. Surat tersebut ditandatangani Kepala Seksi Sumatera Nusa Tenggara, Suparko.
“Namun surat tersebut tidak diterima olah ayah saya, karena pada waktu itu beliau telah kembali ke Aceh,” ujar Arifin.
Akhirnya Muhammad Ali membalas surat itu. Setelah mengisi daftar isian yang dilampirkan dalam surat tersebut, yang masing-masing tiga rangkap. Setelah mendapat pengesahan Panglima Kodam I, waktu itu Kolonel Nyak Adam Kamil, Muhammad Ali berangkat kembali ke Jakarta untuk menjumpai Suparko dan menyampaikan sendiri surat pengangkatannya.
Pada waktu Suparko membaca daftar isian dalam kolom kedudukan terakhir saat pemberontakan DI/TII, Suparko mengajukan beberapa pertanyaan kepada Muhammad Ali.
“Bekerja Aktif, menerima uang tunggu karena sakit dan turut memberontak. Pertanyaan terhadap keterlibatan ayah saya sebagai pemberontak, berkali-kali ditanyakan. Namun beliau menjawab dengan tegas dan bangga, tidak pernah memberontak terhadap Pemerintah RI,” ujar Arifin.
Tapi entah mengapa, Suparko tetap memutuskan untuk tidak menyetujui memberikan uang pensiun kepada Muhammad Ali.
“Itulah ketidakadilan, orang yang setia pada negara tidak diperhatikan, yang tidak setia diperhatikan. Hal ini sama seperti Aceh sekarang, bagi mereka yang dianggap memberontak diberikan bantuan, sedangkan masyarakat yang hidup miskin dan berjasa pada negara, tidak mendapatkan apa-apa. Sejarah selalu berulang,” kata Arifin, lagi.
Pada 6 Januari 1974 Muhammad Ali menghembuskan nafas terakhirnya tanpa pernah sepeser pun menerima uang pensiunnya.
Ironisnya, pemerintah Indonesia menganugerahkan Bintang Mahaputera Utama kepada Panglima Polem terakhir ini pada 2003, ketika Megawati Soekarno menjabat presiden.

Akhirul Kalam

Trimong geunaseh ats kunjungan ureung dron ke dalam blog nyoe. Semoga blog DAYAH MULIA nyoe bermamfaat bagi ureung dron bandum. Amin...!

sayang

”Ilmu
Diberdayakan oleh Blogger.

Wikipedia

Hasil penelusuran

Join US on Facebook

Nyoe adalah Posted Geutanyoe bersama. Jadi dijaga bersama. Semoga bermamfaat.

Total Tayangan Halaman

MOST RECENT

laba2

Foto Bersama

Content right


widgeo.net

About Me

Foto Saya
Lon Aneuk Teupin Batee.. Lahe Pada 10-12-1993 Di teupin Batee... Natupat Teupin Batee???

Contact

Followers

Social Icons

Bahasa

Catwidget4

topads

Like on Facebook

Become our Fan